CORETAN INI TANPA JUDUL

Posted: Desember 23, 2012 in Just Words

Bolehkah kita meminta kepada matahari untuk melebihkan cahayanya, atau meminta hujan untuk mengurangi rintiknya? Apa kita boleh mengharapkan lebih pada sebuah takdir? Mungkin kita tidak boleh terlalu berharap untuk bahagia. Yang kita ketahui adalah bahwa jalan yang kita lalui saat ini adalah jalan sebuah takdir kita yang berbeda-beda satu sama lain. Apa kita boleh menggantungkan harapan lebih? Kita tahu bahwa yang kita jalani ini baik atau buruk setelah kita melalui jalan ini. Kita tidak bisa mengetahuinya sejak awal. Itu di luar kemampuan kita. Yang dapat kita lakukan adalah membuat perkiraan-perkiraan, bermain dari satu spekulasi ke spekulasi lainnya. Ketika kita ingin menggantungkan sebuah harapan tinggi untuk satu spekulasi, kita harus menggantungkan harapan lain untuk tidak berharap lebih tinggi. Begitu seterusnya. Selalu saja ada harapan di atas harapan yang begitu sangat kita inginkan. Sebuah harapan bayangan lain. Harapan bayangan lain yang menutupi harapan tinggi kita. Yang akan menutupi setiap kekecewaan atas asa yang tak sampai. Seperti setiap tetes kesedihan yang malu dan bersembunyi dalam tiap senyuman. Tipis dan langka. “Kamu begitu bergembira hingga haru menyeruak dari balik bola matamu…,” puji seseorang. Dan beberapa diantara kita yang menyimpan makna lain di balik keharuan itu akan memaksakan seurat senyum di bibir kecil, dan menampakkannya sebagai sebuah kembang yang merekah, bahagia meronakan pipi. Siapa yang mampu berlaku demikian? Perisa emosional lekat padanya, lebih rasional dari yang ada. Yang dipersiapkan sejak diprakarsai untuk diwujudkan dalam karya nyataNya. Seseorang yang mampu menerima beban lebih banyak dari jenisnya yang berbeda. Sebuah takdir yang diceritakan itu untuk dunia kecil mereka. Dunia perempuan-perempuan. Mereka yang ternyata mampu menemukan sebuah jalannya sendiri. Mampu menghancurkan batu atau besi. Dan menghadapi takdir mereka.
Perempuan, begitu sebutan untuk satu jenis yang special dari yang special. Mereka tidak pernah benar-benar menunjukkan kekuatan yang mereka punya. Satu sama lain terbiasa berada dibalik satu sosok yang terlihat lebih indah. Mereka bergerak secara berkelompok. Biasa jika kelompok yang satu menarik seorang dari kelompok lain ketika tidak ada yang memperhatikannya. Satu diataranya yang terbaik akan diperebutkan oleh yang kuasa. Di satu tempat ia akan memiliki orang tua baru. Dan di tempat lain, ia akan mendapatkan seorang kakak yang jahat a551173_477639448913200_1999762112_ntau baik hati. Di lain kesempatan ia akan menemukan seseorang yang bersedia melakukan apa saja untuknya, entah hanya untuk mendapatkannya dan menjadikannya satu koleksi diantara koleksi lainnya atau cukup melindunginya tanpa ingin berharap mengikatnya. Apakah ia bahagia? Dia hanyalah sebuah bidak dari permainan yang tak pernah diketahuinya kecuali hanya mengikutinya. Memberikan sedikit improvisasi, buah dari sebuah keberanian yang muncul dari rasa penasaran atas ketidaktahuannya. Sedikit mencoba yang baru. Kadang ia tersentak keget lalu terlalu terperosok dalam jurang. Bumbu dalam sebuah cerita teater realitas adalah kebahagian sebagai happy ending yang tak terduga dari sebuah kecerobohan rasa penasaran, maka ketakutan itu akan berubah menjadi rasa terima kasih. Tapi lain ceritanya jika terperosok dalam jurang dan tidak dapat kembali lagi. Maka sebuah happy ending menjadi bayangan yang semakin tenggelam dalam gelap. Yang disebut kehampaan.
Tapi takdir ini adalah sebuah cerita yang lain. Cerita perempuan ini adalah cerita yang lain. Apa ceritanya berakhir dengan happy ending? Belum, belum diketahui apakah ceritanya benar-benar sudah berakhir di atas kertas ini atau cerita yang dia punya hanyalah siluet-siluet biru, merah, oranye atau nila yang punya sebuah ending pada tiap episode? Kalau begitu, apakah di tiap episode, dia mendapatkan happy ending? Apakah happy ending itu sama dengan tangis haru yang menyatu pada derasnya guyuran hujan? Apakah happy ending itu sama dengan senyum renta yang kering dengan kulit yang mengkilat tersengat matahari? Atau, apakah happy ending itu keihklasan dari panas yang membara? Apakah bentuk happy ending itu? Jika ditanya padanya, apakah ia bahagia, maka jawabnya, “bahagiaku ada di atas senyumnya, di balik keberhasilannya.” Jika pertanyaannya diperjelas, apa ia merasa bahagia sekarang, maka jawabnya dengan pasti, “bahagiaku ada di atas senyumnya, di balik keberhasilannya.”
Aku sungguh mengagumi tiap kisah perempuan-perempuan yang pernah terdengar di telingaku. Dan karena kekagumanku pada mereka, maka kekaguman lain menyeruak pada setiap kisah perempuan yang bahkan tidak sampai di telingaku atau berlalu dalam pandanganku. Cerita-cerita manapun tentang perempuan, aku belajar menerimanya sebagai sebuah cerita yang indah. Kisah mereka yang memiliki khas yang berbeda. Mungkin mereka tidak ingin kisahnya diperdengarkan sebab kisah perempuan bukanlah kisah yang cukup menarik kecuali setelah dibumbui roman dan hasrat yang dilekatkan padanya sebagai sumber malapetaka. Kisah-kisah mereka memiliki bingkai sendiri-sendiri atau merekalah yang terbingkai dalam kisah yang tak ingin mereka tahui.
Kesombongan beribu bahasa berdiri di atas kisah mereka…seolah menyentuhnya, kisah-kisah itu menjadi wakil akan kepedihan yang layak tereksploitasi. Mungkin juga termasuk bahasa dalam tulisan ini. Apa yang aku tuliskan ini, juga mungkin adalah salah satu dari keangkuhan ‘aku’ sebagai penulisnya. Maka rasanya sangat berlebihan jika aku mengharap intrepretasi atas guratan-guratan serak bahasa. Suaraku akan terasa fals jika harus melantunkan kisah yang bukan bagianku. Bahkan tulisanku ini pun tidak akan menyuarakan apa-apa.
Mungkin suatu saat, kamu akan menemui seorang perempuan menuliskan jalan ceritanya sendiri. Bercerita utuk dirinya sendiri. “Bolehkah aku berharap pada matahari untuk melebihkan cahayanya…atau pada hujan untuk mengurangi rintiknya? Agar piring-piring dan gelas-gelas ini terisi…dan aku bisa sisihkan harapku tidak saja pada khayal atau pada kisah yang kau bantu tuliskan untukku.”


Siang tadi, saya mendengar kabar yang sama sekali tidak menarik. Rencana umat Hindhu menggelar ibadah Tawur Kesange jelang Nyepi Jumat (23/3) di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar Lombok Barat mendapat tentangan warga sekitar. Dari informasi yang berkembang, tentangan itu terkait kemungkinan munculnya disharmonisasi antarumat beragama (Muslim-Hindhu). Alasan itu terdengar klise, juga usang di telinga saya. Atas nama harmonisasi hubungan kedua belah pihak, warga Muslim (kaum mayor) menginterupsi warga Hindhu (kaum minor) mengurungkan ibadahnya. Saya menangkap persoalan itu jauh lebih menukik ke substansi, kaum mayor enggan jika teritorinya “diacak-acak” sebagai lokasi “tontonan” ritual kaum minor. Titik! Apa yang salah? Saya, Anda dan kita semua pasti menjawab masalah ini lebih karena egoisitas agama yang diarak ke domain publik. Egoisitas itu seolah dipaksakan menjadi sebuah kepatutan yang harus diterima kaum minor. Kita mulai tidak adil terhadap diri kita sendiri. Keyakinan berupa keimanan yang kita shahih-kan sepertinya harus diimani pula kaum minor. Jauh sebelumnya, banyak dari kita bersepakat. Soal keimanan perdebatannya cukup dihentikan samapi level individu. Keimanan adalah sebuah ruang private yang oleh siapapun tidak boleh semaunya menyelidik, apalagi sampai mengkebiri. Saya, Anda, Kita atau siapapun yang masih percaya Tuhan, layak disebut beriman. Layak berdampingan. Layak hidup bekerjasama membincang nasib kemanusiaan di masa depan. Agenda seperti antikorupsi, perang melawan kemiskinan, menjaga kelestarian lingkungan. Tidak ketinggalan berbagi cinta kasih dan saling menyayang merupakan setumpuk agenda yang masih menunggu dan jauh lebih penting. Yang tidak percaya, yang tidak beriman sebut saja mereka kafir. Ya, kafir! Apa yang salah dengan Tawur Kesange? Alih-alih mengatasnamakan harmonisasi dan kerukunan umat beragama. Kaum mayor sudah berlaku tidak adil, juga otoriter terhadap kaum minor. Resistensi peniadaan uapacara jelang Nyepi itu lebih dipicu egoisitas. Kaum mayor sepertinya tidak memberi ruang toleransi atas perbedaan yang ada. Kata Rasululloh Saw, adil itu mendekatkan seseorang pada taqwa. Dalam terminologi ke-Islam-an, kata taqwa merujuk pada kesholehan, kebaikan serta nilai-nilai luhur yang menjadi intisari ajaran agama. Taqwa berarti dekat dengan Tuhan. Segala prilaku seseorang memiliki ruh kebaikan. Bagi saya, biarkan saja umat Hindhu khusu’ menjalankan prosesi keyakinannya. Selaku kaum mayor, tidaklah hina, tidak pula kafir jika membiarkan mereka beribadah. Alih-alih membiarkan mereka beribadah dalam bayang ketakutan, tidak ada salahnya jika kaum mayor turut menjaga. Saat fungsi itu bisa dijalankan oleh seorang Muslim, kehadiran Islam sebagai agama pembawa damai menjadi nyata. Agama Islam sebagai rahmat tak terbantah. Wallahu a’lamu bishawab!


Lombok (baca : Lombo’/Lomboq) berasal dari kata Malombo yang artinya lurus, polos, jujur, lurus dalam segala cita – cita, polos dan jujur dalam segala amal perbuatan, serta benar dalam tutur kata. sedangkan Sasak (baca : Sa’saq) berasal dari kata Saq yang artinya satu dan bersatu.

Pulau Lombok dengan suku sasaknya dipimpin oleh raja selaparang, raja pejanggik dan bayan, sedangkan sembahulun atau sembalun dikhususkan sebagai tempat semedi atau khalwat para raja – raja.

Pulau Lombok dibagi menjadi tiga paer yaitu :
1. Paer Timuk dengan batas Timuk Juring (wilayah timur) yaitu rarang, sakra, masbagik dan pringgabaya.
2. Paer Baret dengan batas Baret Juring (wilayah barat) yaitu kopang, mantang, gerung, praya dan kuripan.
3. Paer Daya (wilayah utara) yaitu tanjung, bayan dan sembalun.

Masing – Masing paer dipimpin oleh para bekel, kiayi, pemangku dan pande yaitu :
1. Para Bekel adalah pimpinan atau ketua adat yang bertugas memperhatikan dan mendengarkan kepentingan masyarakat.
2. Kiayi bertugas sebagai pembina mental spiritual atau petugas yang mengurus bidang keagamaan.
3. Pemangku Adat atau Krama Desa adalah badan musyawarah yang bertugas memutuskan segala permasalahn yang timbul ditengah – tengah masyarakat.
4. Pande yaitu orang yang mampu memberikan pelajaran seperti membuat peralatan pertanian atau peralatan rumah tangga dan senjata.

Salam Budaya,
Semoga rahyau slamet agung sinampure!!!

           

Lombok (read: Lombo ‘/ Lomboq) derived from the word meaning Malombo straight, plain, honest, straight in all its ideals – ideals, plain and honest in every charitable deed, as well as true in speech. whereas Sasak (read: Sa’saq) is derived from the SAQ, which means one and united.

Lombok Island by tribes sasaknya Selaparang led by the king, the king pejanggik and parrots, while sembahulun or Sembalun dedicated as a place of meditation or the seclusion of the king – the king.

Lombok Island is divided into three paer namely:
1. Paer Timuk with Timuk boundary segment (eastern region), namely rarang, sacraments, and pringgabaya masbagik.
2. Paer Beret Beret with a boundary segment (western region), namely kopang, mantang, Gerung, Praya and kuripan.
3. Paer Power (northern region) of headlands, parrots and Sembalun.

Each – Each paer led by the jacks, kiayi, stakeholders and Pande, namely:
1. The jacks are the leader or head of customs in charge of watching and listening to the public interest.
2. Kiayi mental served as spiritual adviser or officers who take care of the religious field.
3. Indigenous stakeholders or Krama Village is a deliberative body charged with deciding all permasalahn that arise in the middle – the middle of society.
4. Pande is one that is able to provide lessons as to make farm equipment or household equipment and weapons.

Regards Culture,
Hopefully rahyau slamet sinampure great!


If there is language in the science of constriction and expansion of the meaning of the term. Some words in Indonesian experienced a reversal of meaning drastically. For example the word “safe”, now it means “unsafe”.

Security becomes expensive goods in this country. A breeder is still not calm despite having to “secure” his cows in a collective cage guarded by turns. A young entrepreneur no longer feel “safe” to put the business in a bank, afraid that if at any time digarong bank criminals. A Commercial Sex Workers (CSW) suddenly not “safe” to let him fuck man masher, afraid that he was not willing to pay for the services or even kill him. Communities sometimes buy a sense of “safe” with a very expensive price. If you can not afford to buy, they are forced to create “insecurity”.

In the Dictionary of the Indonesian language, Safe means free from danger situation. Safe also means freedom from interference. For example in the saying, “ahh … now I feel safe having an affair, my girlfriend is out of the area,”. Safe means protected or hidden, can not be taken. Safe means certain; no doubt; not contain risk. Aman means peaceful; not feel scared or worried.

Once the high sense of security, to cause the word “safe” meaning rebounded dramatically. Countries with the creator of security tools (read: police) believed to be the institution most responsible for the distortion of the meaning of it. Why are the countries most responsible? There are a few facts.

First, the State often give false information to its people about many things in the name of stability. So much so Papuans defend their basic rights bravely then mowed with bullets. What words Jakarta, Coordinating Minister for Political, Legal and Security Djoko Suyanto said there was no serious problem in Papua. Djoko ensure there “safe” course…Furthermore, the state often creates a situation “unsafe” even though his condition is really “safe”. This is most strange though anyone know the answer. Take a look at each before the celebration of Christmas, Vesak and others. Police do security very striking. Police inspect each church is about to enter, rummage through books in the library of the Church and others. The police just want to make sure that the situation is really “safe” during the worship through their alertness. The police are not aware that their efforts to create a sense of “safe” fruitful “unsafe”. What happens if in this pluralistic nation of people who want to face God alone is required tense first. Can not the authorities do the work hidden so as not to know the people?

The word “safe” has really shifted from its true meaning. Funny thing is, the doings of the police turned the meaning of “safe” is also supported by the large role the media. In an anarchist demonstrations, police arrested dozens of people who are considered as a provocateur. They were arrested after being tortured first. After a few minutes led to the news media with a catchy title. “Secure the police Dozens of People”. Wah wah wah, did the men were “safe” after secured? Who would guarantee their security if the security officers themselves exclude it?.

This country was “unsafe”. Just like his vocabulary is “unsafe” for the interests of conjecture.

Wallahu A’lamu bissawab

HAPPY B’DAY NTB

Posted: Desember 17, 2011 in Uncategorized
Tag:

welcomes the establishment of the NTB of the exact date is 17 December is commonplace for residents to celebrate .. NTB various parades in the show, all kinds of art on display in all directions NTB is no exception in that county is the birthplace of Governor of NTB period 2008_2013.

NTB has now been 53 years stepping digit number that spelled out .. excuse for a human life, perhaps because at that point is the age in which human beings will find it to be an old age weak in numbers, age toothless commonly called by the age of the soil.

Community expectations, small world this is no longer called NTB swallow a lot of problems the earth again, the smart ang religious NTB, NTB is always dignified and cultured .. NTB that always stay safe ..
hope there are many more who want to pronounce a new society in the age of 53 years oLd

with all the hopes I just wanted to convey the sincere
Long live the NTB ….!!!!

DIRGAHAYU NTB YG KE 53

ArTi SeoRanG LeLaKi sebaGai aYah

Posted: Desember 16, 2011 in Just Words
Tag:

Suatu ketika ada seorang anak perempuan yg bertanya kepada ayahnya, tatkala tanpa sengaja ia melihat ayahnya sedang mengusap wajahnya yang mulai berkerut,dengan badanya yang mulai membungkuk, disertai suara batuknya yang khas.

Anak perempuan itu bertanya kepada ayahnya, : “ayah, kenapa wajah ayah kian berkerut dan badan ayah kian hari kiat membungkuk???”demikian pertanyaannya ketika ayahnya sedang santai di beranda, Si ayah menjawab ” Karena aku lelaki “Anak perempuan itu berkata sendirian ” aku tidak mengerti” dengan berkerut kening karena jawaban ayahnya membuat hatinya bingung dan ga mengerti.Ayah hanya tersenyum, dipeluk dan dibelainya rambut anaknya sambil menepuk bahunya dan berkata “Anakku kamu memang belum mengerti tentang lelaki “. Demikian bisik sang ayah yang membuat anaknya bertambah bingung.

Karena perasaan ingin tahu dan ia mendapatkan ibunya lalu bertanya kepada ibunya “Ibu, mengapa wajah ayah kian berkerut dan badan ayah kian hari kian membungkuk? dan sepertinya ayah mengalami demikian tanpa ada keluhan atau rasa sakit ???”

Ibunya menjawab “Anakku, jika memang seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarga itu memang akan demikian “.

Hanya itu jawaban si ibu dan anak itupun kemudian tumbuh dan menjadi dewasa, tapi ia tetap masih mencari-cari jawaban, kenapa wajah ayahnya yang tampan berubah menjadi berkerut dan badannya membungkuk??

Hingga suatu malam ia bermimpi, dan didalam mimpinya ia seolah-olah ia mendengar suara yg lembut dan kata-katanya terdengar dengan jelas, itu ternyata rangkaian jawaban pertannyaannya selama ini yang selalu ia cari.

“Saat kuciptakan lelaki, AKU membuatnya sebagai pemimpin keluarga, serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga tersebut, dan ia senantiasa akan berusaha menahan setiap ujungnya agar keluarganya senantiasa merasa aman, teduh dan terlindungi.””Kuciptakan bahunya yg kuat dan berotot untuk membanting tulang menghidupi seluruh keluarganya dan kegagahannya harus cukup kuat untuk melindungi seluruh keluarganya.””Kuberi kemauan kepadanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yg berasal dari titisan keringatnya sendiri yang halal dan bersih, walaupun seringkali ia mendapat cercaan dari anak-anaknya,”

“Kuberikan keperkasaan dan mental baja yang akan membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya ia merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi keluarganya ia merelakan badannya berbasah kuyup kedinginan karena tersiram hujan dan terhembus angin, ia relakan tenaga perkasanya demi keluarganya dan yang selalu dia ingat adalah disaat semua keluarganya menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil jerih payahnya.”

“Kuberikan kesabaran,ketekunan dan dan kesungguhan yang akan membuat dirinya selalu berusaha merawat dan membimbing keluarganya tanpa ada keluh kesah. walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan seringkali menerpanya.””Kuberikan perasaan kuat dan gigih untuk berusaha berjuang demi mencintai dan mengasihi keluarganya, didalam suasana dan situasi apapun, walaupun tidak jarang anak-anaknya melukai perasaannya dan hatinya.”

“Padahal perasaannya itu pulalah yang telah memberikan rasa aman disaat anak-anaknya tertidur lelap, serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang menepuk-nepuk bahu anaknya agar selalu saling mengasihi dan menyayangi sesama saudara.””Kuberikan kebijaksanaan dan kemampuan kepadanya untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada anak-anaknya tentang saat kini dan saat mendatang,bahkan seringkali ditentang dan ditolak oleh anak-anaknya.”

“Kuberikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran bahwa istri yang baik adalah istri yang setia terhadap suaminya, istri yang baik adalah istri yang selalu

menemani dan bersama-sama menjalani perjalanan hidup baik suka maupun duka, walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada istri,agar tetap berdiri, bertahan, sepadan dan saling melengkapi dan saling mengasihi.”

“Kuberikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti, bahwa lelaki itu senantiasa berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari dan menemukan cara agar keluarganya dapat hidup didalam keluarga bahagia dan badannya yang bungkuk agar dapat membuktikan, bahwa sebagai lelaki yang bertanggung jawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga dan segenap perasaannya, kekuatannya, kesungguhannya demi kelanjutan hidup keluarganya.”

“Kuberikan kepada lelaki tanggung jawab penuh sebagai pemimpin keluarga, sebagai tiang penyangga, agar dapat dipergunakan sebaik-baiknya, dan hanya inilah kelebihan yang hanya dimiliki oleh lelaki. Walaupun sebenarnya amanah ini adalah di dunia dan di akhirat.”

Terkejut anak dari tidurnya dan segera ia berlari, berlutut dan berdo’a hingga menjelang subuh,setelah itu ia hampiri bilik ayahnya yang sedang berdoa, ketika ayahnya berdiri si anak menggenggam dan mencium telapak tangan ayahnya.

“AKU MENDENGAR DAN MERASAKAN BEBANMU, AYAH”

Bila ayah masih hidup jangan sia-siakan membuat hatinya tersenyum dan gembira. Bila ayah telah tiada jangan putuskan tali silaturahim yang telah dirintisnya, dan do’akan agar TUHAN selalu menjaganya dengan sebaik-baiknya.


ICT Camp For Youth woment Southeast Asia  pertemuan Aktivist perempuan Muda Southeast Asia Yang di Kemas dalam ICT camp Di jogja yang bertujuan untuk pengembangan kapasitas aktivist perempuan muda dari berbagai negara asia,belajar tentang bagaimana para feminisme bergerak menggunakan media ( feminist Technology ) dalam melakukan gerakan di negara masing – masing demi terwujudnya perempuan yang berkualitas.


sebab kata “kepala” mengandung konotasi kekuasaan & sangat terkesan otoriter.Umumnya pandangan stereo
type suami sebagai kepala rumah tangga tsb didasarkan firman Allah; “ar rijaalu qawwaamuuna ‘alannisa.Ayat ini berbicara relasi suami istri dlm rumah tangga bkn dlm ranah publik, itupun posisi qawwam bg suami tdklah mutlak, tergantung pd syarat di ujung ayat tsb yakni memiliki kualitas yg lbh tinggi dr istrix & mampu menafkahi.Bila dilihat dari dimensi social, perempuan seringkali tersuboordinasi oleh relitas yang meminggirkannya di wilayah public. Ketidaksetaraan ini muncul di permukaan masyarakat ketika perempuan menikah dan harus mengerjakan pekerjaan domestic, serta  mengabaikan peran public.Padahal jika dilihat dari sisi fitrahnya sebagai “manusia”, perempuan juga memiliki wewenang sebagai kholifatullah (pemimpin) bagi dirinya, keluarga dan masyarakatnya. Peran manusia di muka bumi adalah sebagai khalifatullah (wakil Allah) dan kata-kata kholifah ditafsir sebagai pemimpin di muka bumi.

Dalam bukunya “membumikan” al qur’an Quray Shihab mengatakan bahwa dalam mengelola dunia manusia membutuhkan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik jika dilakukan secara bersama-sama dan seimbang.

Seringkali perempuan dalam dunia public tidak mau menonjolkan dirinya, walaupun tidak jarang diantara mereka memilki kemampuan yang bisa di andalkan. Hal ini akibat ketidak percayaan dalam diri perempuan itu sendiri, dan keraguan apakah dirinya kelak akan mampu mengemban beban tugas yang lebih atau tidak.Kondisi ini tidak lepas pula dari system patriarkat yang turun temurun yang menyebabkan perempuan kehilangan kepercayaan diri dan menganggap bahwa posisi-posisi penting itu memang milik dunia laki-laki dan perempuan hanya sebagai pelengkap saja.urusan domestic menjadi salah satu hambatan perempuan dalam berkarier (tdk adanya pembagian kerja rmh tangga).dalam dukungan keluarga khususnya suami terhadap perempuan berkarier terbagi menjadi tiga,

yakni; pertama, suami mendukung secara penuh terhadap karier istrinya. Dalam hal ini bentuk dukungannya dapat berupa suami membantu pekerejaan-pekerjaan tersebut dengan job description yang jelas baik diluar mapun di dalam rumah. Kedua, para suami mendukung terhadap karier dan kiprah istri di dunia public, namun untuk urusan domestic suami tidak mau tahu dan menganggap itu tetap menjadi tanggung jawab penuh sang istri (dalam hal ini masih bersifat ambivalen.Ketiga, suami tidak mendukung sepenuhnya karier istri dan di rumah suami menyerahkan penuh urusan domestic tanpa merasa berkewajiban untuk membantu (tidak jarang kemudian perempuan karier pada kondisi ini mundur dari pekerjaannya bahkan ada yang gagal berumah tangga.


Tak jauh dari sebelum2nya,agenda perjuangan perempua seperti keadilan terhadap perempuan,penegakan dan keadilan hukum dalam politik tak henti2nya menjadi persoalan yg belum ada habis2nya,ibarat dimana da perempuan disana muncullah problem.
Legalitas perempuan dlm pemilu dgn kuota 30% dianggap suatu kemenangan bagi para pengusung Gender yg menyerukan keadilan dan kesetaraan Gender.
Yg dimana dalam paradigma kapitalisme persoalan perempuan hanya dapat difahami dan diselesaikan sepenuhnya oleh kaum perempuan yakni melalui kebijakan yg berorientasi perempuan.kebijakan ini katanya hanya lahir dari kontribusi kaum perempuan.

Fenomena ini cukup menggambarkan bahwa perempuan memang besar dalam kuantitas dan bebannya namun tak cukup suara untuk memperjuangkan kepentingannya yg mana artinya berbagai kepetusun yg menyangkut hajat hidup dunia yg dibuat oleh para laki2 yg menguasai lebih dari 90% posisi penting artinya berbagai keputusan penting sangat boleh jadi mengabaikan kepentingan separuh warga dunia yg berjenis kelamin perempuan.contoh konkret KDRT yg mana pemicunya tak lain adalah struktur budaya.
Jelas ini bukan hal yg alamiah yg merupakan sebuah keniscayaan.contoh lain lagi di Ntb banyaknya perempuan buta aksara,TKW yg dikirim keluar negri dari tahun ke tahun yg hanya dipekerjakan sebagai PRT yg sudah cukup merendahkan negara dan bangsa kita..di lombok timur masbagik utara,saya sendiri melihat bahwa sebagian besar penduduk perempuannya adalah buruh kangkung dgn upah Rp 2000 yg menyebabkan terjadinya eksploitasi anak2 khususnya anak perempuan dgn terjadinya pernikahan belia demi memperbaiki perekonomian yg ujung2nya melahirkan perceraian usia dini pula.
Upaya membangun kesadaran perempuan merupakan bagian yg tak terpisahkan dari upaya membangun masyarakat yg berdaulat.berbagai persoalan yg di hadapi perempuan menempatkan perempuan terutama perempuan pedesaan terhenti di satu titik bernama wilayah domestik.

Kebijakan yg dibuat oleh pemeritah nyatanya juga berimbas pada masyarakat yg jauh dipelosok desa,karna ketika pemerintah membuat suatu kebijakan penanaman modal asing yg diuntungkan adalah para memilik modal bukannya menguntungkan rakyat indonesia..apakah ini suatu kebetulan saja..?
Perempuan seringkali ketinggalan dalam hal pendidikan karna beban perekonomian yg membuat perempuan itu mencari celah dgn pikiran pendek tanpa memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu secara bersama,hanya disibukkan dgn urusan2 domestik dan beban ekonomi.sehingga tdk peduli dan tdk memiliki akses terhadap informasi,sehingga hidup adalah sesuatu yg harus dijalani tanpa perlu mempertanyakan apa yg terjadi meski berpengaruh terhadap kehidupannya.

Perempuan tdk berani mempertanyakan sebuah kebijakan yg tdk menguntungkannya kepada bupati atau kepala desa,apakah takut karna tdk tahu apa yg akan ditanyakan atau karna tdk ada yg menemani untuk mempertanyakan itu.
Sementara ketika memilih pemimpin entah daerah atau pusat,suara yg dikeluarkan oleh perempuan jarang sekali merupakan suara mereka sendiri melainkan suara laki2 dibelakangnya..apakah kemudian ini yg dinamakan Demokrasi,OF,BY and FOR the people jika nyata2nya Demokrasi lebih pantas disebut OF,BY and FOR the Man..dengan demikian dimana Demokrasi menuju kedaulatan perempuan..?sehingga secara fakta terlihat bahwa jargon Demokrasi ini adalah omong kosong,sebab yg berdaulat bukannya perempuan tapi laki2,bukannya yg berdaulat bangsa/rakyat tapi para elit wakil rakyat termasuk elit penguasa dan pengusaha bahkan kebijakan dan keputusan pemerintah sering di pengaruhi para pemilik modal baik lokal maupun asing sehingga demokrasi terlihat sebagai topeng ideologis yg melindungi tirani minoritas atau mayoritas padahal dalam peraktiknya yg berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yg lain..

persoalan perempuan tdk hanya menjadi milik perempuan saja akan tetapi seluruh komponen warga,karna disadari atau tdk,perempuan merupakan guru peradaban..! Bukan karena perempuan dipandang cakap untuk itu melainkan oleh karna dalam diri perempuan itu ada pengaruh besar yg paling membantu memajukan kesusilaan manusia dan besar pula akibatnya yg mampu membaikkan dan memburukkan kehidupan..


Diantara Kritik yang paling serius  terhadap  teori & praktik hukum keluarga (al Ahwal al Syakhsiyah) yang ada selama ini adalah terdapatnya indikasi bias gender yang lebih menguntungkan sudut pandang laki-laki. Dengan kata lain bahwa hampir sebagian besar konsep hukum itu, entah disengaja atau tidak, seolah-olah memang dirancang berdasarkan perspektif yang lebih menguntungkan laki-laki. Misalnya tentang status, kedudukan hak dan kewajiban suami dan istri, ayah dan ibu serta anak laki-laki dan perempuan lebih menunjukkan subordinasi dari pada pembagian peran. Hal tersebut dapat menimbulkan kecenderungan munculnya “penindasan” baik secara fisik, psikologis, mapupun cultural dari pihak laki-laki terhadap perempuan di banyak kelompok masyarakat muslim. Hal ini pula antara lain penyebab kedua kelompok ini (perempuan & laki-laki) tidak mempunyai peluang yang sama dalam berekspresi dan aktualisasi diri.

Tentunya hal ini sangat bertolak belakang dengan Prinsip-prinsip al Qur’an tentang kesetaraan Gender, yang mana pada dasarnya agama Islam menegaskan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki , kendati misalnya Alquran menggunakan bahasa (ungkapan) yang secara literal menunjuk pada struktur yang hirarkis, namun secara moral Alquran sesungguhnya ingin menghilangkan subordinasi yang dialami oleh perempuan pada masa-masa pra Islam. Dengan demikian sesungguhnya ungkapan Alquran adalah ungkapan yang sarat dengan pembebasan,termasuk dalam hal ini adalah upaya pembebasan perempuan dari dominasi dan eksploitasi kaum laki-laki.

Adapun prinsip-prinsip kesetaraan gender menurut Alquran antara lain sebagai berikut:

–          Sebagai hamba Allah swt baik laki-laki maupun perempuan diciptakan untuk menyembah kepada Tuhannya:

Dan aku tidak menciptakan jin dan Manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada_Ku” (QS. Adz-Dzaariyaat (51):56)

–          Perempuan dan laki-laki diciptakan sebagai khalifah di bumi:

Selain diciptakan untuk taat dan mengabdi kepada Tuhannya, manusia juga diciptakan menjadi khalifah di bumi ini, hal ini tertuang dalam firmanNya:

“ Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu. sesungguhNya TuhanMu amat cepat siksaanNya dan sesungguhNya Dia maha pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al An’am 6:165)

–          Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama dalam meraih prestasi:

“barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisa 4:124)

Dalam surat yang lain dikatakan bahwa “ maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan berfirman: sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal –amal orang yang beriman diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain (QS. AL Imran: 195)

–          Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam keluarga :

“…mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu dan kamupun pakaian bagi mereka (qs albakarah 187).Ayat inimenunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi pelindung antara satu dengan yang lainnya.

Secara biologis perempuan dan laki-laki jelaslah berbeda namun dalam fungsi social mereka  memiliki hak dan kesempatan yang sama , hal ini tersurat dalam firmanNya  bahawa tiada yang membedakan antara laki-laki dan perempuan namun yang membedakannya adalah tingkat ketakwaannya, “Inna Aqromakum ‘indallaahi atqaakum” (QS.Al Hujarat:13)

Masih banyak ayat-ayat maupun hadits lain yang dapat dijadikan sebagai rujukan tentang sesungguhnya dalam kiprah social kemasyarakatan antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan serta tanggungjawab yang sama sebagai manusia sutuhnya.

 

REALITAS KETIDAKADILAN GENDER

Jika sesungguhnya Al Qur’an  menyerukan tentang kesetaraaan tersebut, namun realitas berkata lain. Dalam kehidupan keluarga realitas ketidak adilan gender ditemukan dalam kenyataan sehari-hari; 1). Tidak seimbangnya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Biasanya istri lebih dituntut kewajibannya daripada diberikan haknya, Misalnya dalam waktu 24 jam dituntut untuk bekerja dengan pekerjaan yang sangat monoton (istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya, pasal 83 ayat 2 KHI). Ketentuan ini seolah membenarkan anggapan stereotype masyarakat bahwa tempat perempuan yang layak adalah di sumur, kasur dan dapur. Sebaliknya suami bebas dari tugas yang demikian.  Kebanyakan masyarakat memahami bahwa kewajiban istri berbakti kepada suami seolah tanpa batas,sehingga muncul anggapan klise “kewajiban istri adalah melayani suami sejak mata suami terbit sampai terbenam”.  Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan substansi firman Allah swt “pergaulilah istrimu dengan cara yang patut” 2). Istri menghabiskan waktunya untuk urusan domestic dan sangat minim waktunya untuk sosialisasi. setiap orang memiliki identitas demikian juga dengan perempuan, dia memiliki identitas sebagai istri, ibu, sebagai tetangga, juga sebagai masyarakat. Namun seringkali identitasnya sebagai istri menafikan identitasnya sebagai mahkluk social yang lain. Sementara menurut penelitian  laki-laki memiliki waktu luang 30% lebih banyak dari perempuan. Akibat dari anggapan tersebut posisi perempuan menjadi sangat marginal (terpinggirkan), baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan ketenagakerjaan. Jika istri keluar rumah ia dipandang tidak terhormat karena telah melalaikan kewajibannya dirumah tangga. Kalaupun ada kesempatan untuk bekerja di luar, maka pekerjaannya di nilai hanya sebagai pekerjaan  tambahan dan di bayar sebagai pencari nafkah sampingan.  3). Penentuan keputusan-keputusan strategis dalam rumah tangga jarang sekali melibatkan istri. Misalnya keputusan tentang pendidikan anak, membeli barang-barang tertentu seperti motor, tanah dan sebagainya. 4). Istri  dianggap tidak pantas mengontrol dan menasehati suami, istri harus menjadi pelayan suami tetapi tidak sebaliknya, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip perkawinan  yakni “muasyarah bil ma’ruf” . 5). Istri sering disalahkan pada kasus-kasus yang murni bukan kesalahannya. seperti tidak memiliki anak laki-laki atau tidak memiliki keturunan  seringkali dijadikan   alasan untuk poligami, anak nakal di katakan menjadi tanggungjawab ibu semata dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lainnya. Maka untuk mengatasi realitas ini intinya bahwa Islam tidak ingin menyamakan persis kewajiban suami istri akan tetapi menggunakan sisitem Muasaroh bil ma’ruf, di mana  masing-masing  pihak punya kewajiban yang sama dalam mewujudkan mawaddah warahmah didalam keluarga.